Minggu, 10 Oktober 2010

Cerpen Sehari hari Jerih Payah

Jerih Payah



Mendapat uang dari dari jerih payah sendiri adalah kemenangan dan kebahagiaan. Betapa tidak, selama ini aku hanya seberapapun dari orang tua. Banyak dan sedikit aju harus menerima apa adanya. Saat itu aku tengah berkunjung ke rumah temanku, saat kami tengah berbincang – bincang sambil meneguk kopi hangat dan beberapa makanan ringan, tiba – tiba ayah temanku dating. Dia menyuruh anaknya untuk menyetorkan buah nyamplung ke Jogja, karena dia ada keperluan.

“ Sap, tolong nanti kamu setorkan nyamplung ke Jogja.” dengan menyalakan sebatang rokok kemenyan, pak Wiryo berucap.
Dengan terkejut Saptono menjawab “ Walah ! kok aku sih pak? “
“ Ya siapa lagi? Bapak ada perlu jadi tidak sempat. “ ujar pak Wiryo pelan.
“ Tapi aku tidak berani pak kalau ke sana sendirian. “ Saptono berusaha menolak.
“ Lah, udah gede masa ga berani.” Ucap pak Wiryo tak mau tau.
“ Jangan aku lah pak. “ Saptono memohon. Namun pak Wiryo tetap memaksa.
“ Udah, ga’ usah nolak, itu Hendra suruh nemenin. Katanya dia mau nginep sini, kalau kamu pergi dia gimana? Kan lebih baik kamu ajak. “
“ Ya Sap, aku juga pengen jalan – jalan cari pengalaman. “ sahutku semangat.
“ Ya sudahlah,aku mau pak. “ dengan berdiri Saptono menjawab.
“ Nha,kan enak, ya udah sana siap – siap bapak mau nyiapin nyamplungnya. “ ucap pak Wiryo seraya bergegas ke belakang.

Saat itu udara mulai dingin, sinar keemasan mentari mengintip dari sela – sela pepohonan. Kami mulai bersiap – siap, karena saat itu mentari telah merayap ke ufuk tenggelamnya. Aku dan Saptono hanya diberi uang untuk membeli bensin, tanpa diberi uang untuk makan. Aku memakluminya,karena keadaan pak Wiryo yang sederhana, dia hanya bertumpu pada uang hasil setoran nyamplung yang dikumpulkannya.

“ Nah sudah siap, ini uang buat beli bensin, nanti kalua mau makan setelah nyamplungnya dibayar. “ dengan memberikan uang bensin pak Wiryo berkata.
“ Ya pak, tapi Hendra kasihan, kan dia belum pernah. “ ucap Saptono.
“ Udah ga’ apa – apa,itung – itung cari pengalaman. “ ucapku meyakinkan.
“ Sudah sana berangkat keburu ujan. “ pak Wiryo berkata seraya menatap langit sebelah timur.
“ Yaya..Berangkat dulu ya pak. “ ucap Saptono seraya menghidupkan motor.
“ Ya hati - hati “ dengan tersenyum pak Wiryo berkata.

Dengan mengendarai sepeda motor tanpa SIM kai melaju tidak terlalu cepat. Sepanjang jalan kami jarang bercakap – cakap, karena aku tak ingin mengganggu Saptono yang tengah berkendara. Selang beberapa lama kami berhenti, karena di depan ada polisi, karena takut ditilang, Saptono memutuskan mencari jalan lain.


“ Waduh dap, ada polisi. “ seru Saptono.
“ Wah! Gimana ne Sap? “ aku mulai panic.
“ Kita ambil jalan pintas, tenang aja aku tau jalannya. “ dengan yakin Sapyono berkata.
“ Yakin ga’ ? ntar kesasar lagi. “ ucapku ragu.
Dengan menyeringai Saptono bekata. “ Percaya aja, tak jamin. “
“ Ya udah,aku ngikut aja.” Ucapku.

Akhirnya kami mencari jalan pintas, setelah lama berkendara dan tak kunjung sampai, hatiku mulai ragu. Kakiku mulai pegal,karena memangku 1 kandi penuh nyamplung, namun sebelum aku sempat mengeluh, tiba – tiba Saptono berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman lebar. Rumah itu terlihat sederhana,namun memiliki teras lebar dan banyak tumpukan kandi berisi nyamplung, sebuah timbangan besar tergantung di tengah – tengah teras. Sejenak aku termenung,pandanganku ku layangkan tak berkesip memperhatikan bangunan itu.

“ Udah dap, cepet turunkan bawaan kita. “ suara Saptono menyadarkanku.
“ E…iya,bentar. “ sahutku kaget.

Kami pun membawa bawaan kami ke rumah tersebut,meletakkannya di lantai teras lalu mengetuk pintu. Selang beberapa saat,dari pintu rumah itu muncul pria kekar berambet ikal sebahu dikucir, ternyata dia seorang tengkulak. Dia menanyakan keperluan kami.

“ Ada apa mas? “ Tanya tengkulak sambil melirik kearah bawaan kami.
“ Gimana mas? Bisa nampung ga’ ? “ Tanya Saptono.
“ Waduh mas, maaf banget stoknya dah penuh, liat aja masih banyak kandi – kandi di sini. “ ucap tengkulak menerangkan.
“ Waduh, ga’ bisa diusahain po mas? “ ucap Saptono penuh harap.
“ Ga’ bisa mas udah penuh. “ tegas tengkulak.

Akhirnya kami pulang, menelan bulat – bulat kecewa dan letih, kekecewaan kami bertambah setelah tengkulak lain yang kami datangi juga menolak. Akhirnya kami pulang, dengan segala kekecewaan, letih dan penat.
Malam yang dingin dan sepi menambah berat mataku, aku dan Saptono sangat letih. Sesampainya di rumah, kami mencoba melepas penat kami, kami tertidur pulas. Baru sekejap mata kami terpejam, tiba – tiba pak Wiryo membangunkan kami, dia memin ta kami kembali ke tempat tengkulak Dengan mata berat dan ngantuk, kami pun berangkat kembali. Udara dingin merasuk mengakukan syaraf – syaraf kami, rasa kantuk dan letih, menambah penderitaan kami, jam 3 pagi kami berangkat kembali berbekal harapan bawaan kami bias diterima.
Sang surya mulai terjaga, sinar hangatnya menerangi jagat, keadaan mulai menghangat, memberikan tenaga baru bagi tubuh letih kami. Saat itu kami telah sampai di rumah tengkulak, terlihat aktifitas – aktifitas para pengrajin mengolah nyamplung untuk dijadikan barang kerajinan. Kami menurunkan bawaan kami lalu membawanya ke teras.


“ Assalammualaikum… “ sapa kami.
“ Wa’alaikum salam…” sahut tengkulak.
“ Masih nrima setoran ga’ pak? “ tanya Saptono.
“ Ooo…Bisa – bisa mas, sini tak timbange dulu. “ sahut tengkulak.

Kami merasakan beribu bahagia, akhirnya jerih payah kami tak sia – sia, lelah dan penat kami serta merta hilang. Setelah menerima uang , kami pun bergegas pulang.

“ Makasih pak, kami pulang dulu. “ ucap Saptono.
“ Sama – sama mas, ya.. Hati – hati. “ sahut tengkulak.

Di tengah jalan, bertemu dengan pak Wiryo yang semalam mendahului kami berangkat dengan sepeda onthel, kami pun berhenti.

“ Mau nrima ga’ tengkulaknya? “ tanya pak Wiryo.
“ Udah pak… “ sahut kami.
“ Syukur kalau gitu, lha uangnya mana? “ tanya pak Wiryo seraya mengulurkan tangan.
“ Ini pak, 2 kandi dibayar segini. “ tutur Saptono.
“ Alhamdulillah… Ga’ apa – apa, nah.. Ini uang buat kalian karena dah Bantu bapak.” Ucap pak Wiryo seraya memberikan uang 100 ribu rupiah pada kami.
“ Wah… Makasih banget pak.. “ ucap kami.
“ Terus baoak pulangnya gimana? “ aku mengajukan pertanyaan.
“ Ya naik sepeda, Kalian jalan saja dulu.. Bapak mau mampir pasar dulu. “ ucap pak Wiryo, sebuah senyuman menghiasi bibirnya.
“ Wah.. yo capek banget pak.” Ucapku kaget.
“ Lah..Bapak udah biasa Hen.. “ sahut Saptono.
“ Ya, bapak udah biasa.. Kalian pulang aja dulu “ tungkas pak Wiryo.
“ Ya udah, kami pulang dulu ya pak. “ kata Saptono.
“ Ya hati – hati. “ jawab pak Wiryo.

Kami pun pulang, aku mengendarai sepeda motor dan Saptono membonceng, ini pengalaman pertamaku, karena aku baru belajar naik motor, meski takut tapi aku tetap nekat. Di perjalanan Saptono tidur karena sangat letih dan mengantuk aku pun merasakan hal yang sama, mataku terasa berat, tapi aku berusaha tetap terjaga karena aku masih berkendara. Di tengah jalan, tanpa kusadari mataku terpejam, aku berseru kaget ketika mendengar klakson truk menggema, begitu aku membuka mata kepala truk sudah 1 meter di depan motor, dalam kagetku kubanting stang ke kanan. Saptono terbangun kaget, saat itu motor telah keluar jalur menabrak pembatas jalan, namun kami tak terluka karena aku masih sempat mengerem. Sejenak kami tertegun, kami merasa sangat kaget, setelah tersadar kami tertawa, lalu melanjutkan perjalanan.
Pengalaman yang tak terlupakan olehku, saat aku merasakan jerih payah mencari uang, aku belajar dari pengalaman itu, bahwa tak mudah untuk mendapatkan sesuatu. Kita harus berjuang untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, dan jangan pernah putus asa.
Sekian...

Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright mix's BLoG 2012 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
| by MIX